Pelaksanaan politik pintu terbuka, tidak membawa perubahan
bagi bangsa Indonesia. Bangsa Indonesia tetap buruk nasibnya. Banyak di antara
penduduk yang bekerja di perkebunan-perkebunan swasta dan pabrik-pabrik dengan
perjanjian kontrak kerja. Merke terikat kontrak yang sangat merugikan. Mereka harus
bekerja keras tetapi tidak setimpal upahnya dan tidak terjamin makan dan
kesehatannya. Nasib rakyat sungguh sangat sengsara dan miskin. Melihat kenyataan
itu, para pengabdi kemanusiaan yang dulu menentang tanam paksa, mendorong
pemerintah kolonial untuk memperbaiki nasib rakyat Indonesia. Sudah menjadi
kewajiban pemerintah Belanda untuk memajukan bangsa Indonesia, baik jasmani
maupun rohaninya. Dengan dalih untuk memajukan bangsa Indonesia itulah kemudian
dilaksanakan Politik Etis.
Pencetus politik etis (politik balas budi) ini adalah Van
Deventer. Van Deventer memperjuangkan nasib bangsa Indonesia dengan menulis
karangan dalam majalah De Gids yang berjudul Eeu Ereschuld (Hutang Budi). Van
Deventer menjelaskan bahwa Belanda telah berhutang budi kepada rakyat
Indonesia. Hutang budi itu harus dikembalikan dengan memperbaiki nasib rakyat,
mencerdaskan dan memakmurkan. Menurut Van Deventer, ada 3 cara untuk
memperbaiki nasib rakyat tersebut yaitu memajukan :
a. Edukasi (Pendidikan)
Dengan edukasiakan dapat
meningkatkan kualitas bangsa Indonesia sehingga dapat diajak memajukan perusahaan perkebunan dan mengurangi keterbelakangan.
b. Irigasi (pengairan)
Dengan irigasi tanah pertanian
akan menjadi subur dan produksinya bertambah.
c. Emigrasi (pemindahan penduduk)
Dengan emigrasi tanah-tanah di
luar Jawa yang belum diolah menjadi lahan perkebunan, akan dapat diolah untuk
menambah penghasilan. Selain itu juga untuk mengurangi kepadatan penduduk Jawa.
Pendukung Politik Etis usulan Van
Deventer adalah sebagai berikut:
- Mr. P. Brooshoof, redaktur surat kabar De Lokomotif, yang pada tahun 1901 menulis buku berjudul De Ethische Koers In de Koloniale Politiek (Tujuan Ethis dalam Politik Kolonial).
- K. F. Holle, banyak membantu kaum tani.
- Van Vollen Hoven, banyak memperdalam hukum adat pada beberapa suku bangsa di Idnoneisa.
- Abendanon, banyak memikirkan soal pendidikan penduduk pribumi.
- Leveigoed, seorang jurnalis yang banyak menulis tentang rakyat Indonesia.
- Van Kol, banyak menulis tentang keadaan pemerintahan Hindia Belanda.
- Douwes Dekker (Multatuli), dalam bukunya yang berjudul Max Havelaar, Saya dan Adinda.
- Douwes Dekker (Multatuli), dalam bukunya yang berjudul Max Havelaar, Saya dan Adinda.
Usulan Van Deventer tersebut mendapat perhatian besar dari
pemerintah Belanda, pemerintah Belanda menerima saran tentang Politik Etik,
namun akan diselaraskan dengan sistem kolonial di Indonesia (Edukasi dilaksanakan,
tetapi semata-mata untuk memenuhi kebutuhan pegawai rendahan). Pendidikan dipisah-pisah
antara orang Belanda, anak bangsawan, dan rakyat. Bagi rakyat kecil hanya
tersedia sekolah rendah untuk mendidik
anak menjadi orang yang setia pada penjajah, pandai dalam administrasi
dan snaggup menjadi pegawai dengan gaji yang rendah. Dalam bidang irigasi
(pengairan) diadakan pembangunan dan perbaikan. Tetapi pengairan tersebut tidak
ditujukan untuk pengairan sawah dan ladang milik rakyat, namun untuk mengairi
perkebunan-perkebunan milik seasta asing dan pemerintah kolonial.
Emigrasi juga dilaksanakan oleh pemerintah Belanda bukan
untuk memberikan penghidupan yang layak serta pemerataan penduduk, tetapi untuk
membuka hutan-hutan baru di luar pulau Jawa bagi perkebunan dan perusahaan
swasta asing. Selain itu juga untuk mendapatkan tenaga kerja yang murah.
Jelaslah
bahwa pemerintah Belanda telah menyelewengkan Politik Etis. Usaha-usaha yang
dilaksanakan baik edukasi, irigasi, dan emgrasi, tidak untuk memajukan rakyat
Indonesia, tetapi untuk kepentingan penjajah itu sendiri. Sikap penjajah
Belanda yang demikian itu telah menyadarkan bangsa Indonesia bahwa penderitaan
dan kemiskinan rakyat Indonesia dapat diperbaiki jika bangsa Indonesia bebas
merdeka dan berdaulat.