Menu

Wednesday, 6 November 2019

Sejarah TKI (Tenaga Kerja Indonesia)



Lama saya tidak menulis di blog saya yang satu ini karena memang masih mencari artikel yang menarik untuk dibahas. Dalam lingkup suatu lingkungan rumah kalian pasti tidak jauh dengan desas-desus bekerja di luar negeri atau lebih tepatnya menjadi TKI (Tenaga Kerja Indonesia). Kenapa banyak orang memilih bekerja di luar negeri padahal di Indonesia masih banyak pekerjaan yang sesuai kemampuan masing-masing dan banyak usaha lainnya. Namun alasan yang saya dengar dari mereka adalah ada yang tertipu oleh promosi di sekitar lingkungan mereka. Ucapan memang tidak sesuai kenyataan, katanya bekerja di luar enak sesuai kemampuan yang dimiliki ternyata pekerjaan berat bisa dibilang seperti BABU. Nah, maka dari itu kali ini saya ingin membahas lebih lanjut mengenai hal ini dengan mengetahui bagaimana sih sejarah adanya TKI.

Mari kita mulai dari pengertian tenaga kerja secara umum adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang atau jasa untuk memenuhi kebutuhannya sendiri maupun kebutuhan masyarakat. Sedangkan TKI adalah setiap warga negara Indonesia yang memenuhi syarat untuk bekerja di luar negeri dalam hubungan kerja untuk jangka waktu tertentu dengan menerima upah. Namun, istilah TKI seringkali dikonotasikan dengan pekerja kasar karena TKI sejatinya memang adalah kumpulan tenaga kerja unskilled yang merupakan program pemerintah untuk menekan angka pengangguran. TKI perempuan seringkali disebut Tenaga Kerja Wanita (TKW).

Dan berikut sejarah panjang mengenai TKI :

Jauh sebelum Pemerintah Republik Indonesia mengirimkan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) ke Luar Negeri, Pemerintah Kerajaan Belanda sejak tahun 1890 s/d 1939 telah mengirimkan 32.956 orang TKI asal Pulau Jawa ke Suriname. Kedudukan Suriname dan Indonesia pada waktu itu, adalah sama-sama Negara Jajahan di bawah Pemerintah Kerajaan Belanda.

Maksud dan tujuan pengiriman TKI itu adalah untuk menambah kekurangan tenaga kerja dibeberapa perkebunan yang ada di Suriname. Kekurangan tenaga kerja itu sendiri adalah akibat dihapus dan dibebaskannya sistem perbudakan pada tanggal 1 Juli 1863. Dampaknya, banyak perkebunan tidak terurus, sehingga terlantar. Perekonomian Suriname yang semula tergantung dari hasil perkebunan, turun drastis.

Pertimbangan lain dari Pemerintah Kerajaan Belanda yang mengirimkan TKI ke Suriname saat itu, adalah karena rendahnya perekonomian penduduk di pulau Jawa, yang disebabkan oleh bencana alam meletusnya gunung berapi dan padatnya jumlah penduduk. Akan tetapi menurut Dissertasi Prof. DR. Yusuf Ismaildi Universitas Leiden di Belanda tahun 1949 menyatakan: Bukan kelebihan penduduk yang menjadi alasan untuk beremigrasi ke Suriname, melainkan kemelaratan yang sangat, yang diderita penduduk dibeberapa daerah di Jawa pada satu fihak dan kepentingan perkebunan-perkebunan di Suriname pada lain fihak. Oleh karenanya, maka kebanyakan para TKI itu berasal dari Jawa Tengah, ada juga dari Jawa Timur dan yang paling sedikit dari Jawa Barat.
Sekilas tentang kegiatan pengiriman TKI ke Suriname.

Gelombang pertama pengiriman TKI itu diberangkatkan dari Batavia (Jakarta) pada tanggal 21 Mei 1890dengan kapal SS Koningin Emma. Setelah singgah di Negeri Belanda, akhirnya kapal tiba di Suriname padatanggal 09 Agustus 1890. Oleh sebagian masyarakat Indonesia baik yang sekarang masih tinggal di Suriname maupun yang tinggal di Negeri Belanda, selalu mengenang dan memperingati tanggal 09 Agustus sebagai suatu tanggal yang sangat bersejarah.

TKI gelombang pertama sebanyak 94 orang, terdiri dari 61 orang pria, 31 orang wanita dan 2 orang anak dan ditempatkan di perkebunan tebu dan pabrik gula Marienburg. TKI gelombang kedua sebanyak 582 orang, tiba di Suriname pada tanggal 16 Juni 1894 dengan kapal SS Voorwaarts. Karena muatan kapal kedua ini melebihi kapasitas, menyebabkan kapal tidak memenuhi syarat sebagai kapal angkut personil.

Akibatnya 64 orang penumpang kapal meninggal dunia dan 85 orang harus dirawat di rumah sakit, setelah kapal tiba di pelabuhan Paramaribo, Suriname. Kejadian yang menyedihkan ini tidak ada tanggapan dari Pemerintah Belanda, bahkan begitu saja dilupakan. Mungkin Pemerintah Kerajaan Belanda beranggapan bahwa yang meninggal itu hanya para pekerja miskin, sehingga tidak perlu ada tindakan apa-apa. Meskipun demikian, pengiriman tenaga kerja ini berjalan terus sepanjang tahun sampai dengan pengiriman terakhir sebanyak 990 orang yang tiba di Suriname pada tanggal 13 Desember 1939.

Dari tahun 1890 s/d 1914 rute pelayaran ke Suriname selalu singgah di Negeri Belanda, selebihnya tidak. Pengiriman para TKI itu menggunakan 77 buah kapal laut, dilaksanakan oleh Perusahaan Pelayaran Swasta, De Nederlandsche Handel Maatschappij. Tetapi sejak tahun 1897 pengiriman TKI dilaksanakan sendiri oleh Pemerintah Hindia Belanda.

Ternyata program pengiriman TKI ke Suriname ini, telah mengurangi kepadatan penduduk di Pulau Jawa. Atas dasar itu maka pada bulan Nopember 1905 Pemerintah Kerajaan Belanda memindahkan 155 kepala keluarga (KK) asal Pulau Jawa (dari Keresidenan Kedu, yaitu dari Kabupaten Karanganyar, Kebumen dan Purworejo) ke daerah Gedong Tataan di Keresidenan Lampung, Sumatra Selatan Ini adalah awal mula Sejarah Transmigrasi di Indonesia pada jaman Belanda dengan nama Kolonisasi.
Lapangan kerja dan pengupahan.

Pada waktu itu di Suriname sudah ada tenaga kerja yaitu orang-orang Creole asal Afrika yang dibawa ke Suriname pada awal abad 16 sebagai budak belian. Kemudian datang orang-orang Tionghoa yang dibawa ke Suriname pada tahun 1853 dan orang-orang Hindustan asal Calcuta, India yang tiba di Suriname pada tanggal 04 Juni 1873. Orang-orang Creole asal Afrika yang tidak tahan bekerja sebagai budak, banyak yang melarikan diri kedalam hutan, sehingga ada Creole Kota dan Creole Hutan. Semula Creole Hutan ini disebut “Djoeka” tetapi sekarang mereka telah menamakan diri suku Marron dan jumlahnya menempati urut No.3 setelah orang-orang Creole dan Hindustan.

Sampai dengan tahun 1930 para TKI itu dipekerjakan di perkebunan tebu, cacao (coklat), kopi dan pertambangan bauxite di bawah Poenale Sanctie. Sesudah tahun itu mereka bekerja sebagai buruh merdeka, tetapi faktanya masih harus bekerja dengan syarat-syarat Poenale Sanctie.

Gaji yang diterima oleh pekerja laki-laki usia diatas 16 tahun sebesar 60 sen sehari dan pekerja wanita usia diatas 10 tahun sebesar 40 sen sehari. Berdasarkan perjanjian, para tenaga kerja itu harus bekerja (kontrak) selama 5 tahun. Dengan ketentuan, mereka harus bekerja selama 6 hari dalam satu minggu. Setiap hari harus bekerja selama 8 jam di perkebunan atau 10 jam di pabrik. Setelah masa kontrak berakhir, mereka diberi hak untuk pulang kembali ke Indonesia atas biaya Pemerintah Belanda.

Pada tahun 1947 terjadi lagi gelombang Repatriasi berikutnya sekitar 700 orang, menggunakan kapal Tabian. Selebihnya memilih tetap tinggal di Suriname, walaupun hubungan kerja kontrak dengan para pemilik perkebunan sudah berakhir. Mereka yang memilih tetap tinggal di Suriname, dan tidak ingin pulang ke Indonesia, memperoleh pembagian sebidang tanah garapan serta menerima penggantian uang Repatrasi sebesar 100 gulden Suriname per orang. Pada masa kejayaan perkebunan tebu mulai merosot, banyak pekerja Indonesia yang beralih profesi menjadi pekerja pertambangan bauxit di Moengo, Paranam dan Biliton. Akibatnya beberapa daerah yang semula dikenal sebagai “district orang-orang Jawa” yang bertani dan bercocok tanam, antara lain di district Commewijne, Saramacca, Coronie dan Nickerie, terasa semakin berkurang.jumlahnya.

Selama Perang Dunia ke 2

Selama Perang Dunia 2, kondisi perekonomian masyarakat Suriname agak membaik. Ini berkat adanya lapangan kerja pada pembangunan Instalasi Militer Sekutu di Paramaribo dan sekitarnya yang berhasil menyerap banyak tenaga kerja. Tetapi, setelah Tentara Sekutu menghentikan pembangunan Instalasi militernya, kondisi perekonomian terutama “masyarakat bawah” kembali memprihatinkan.

Hasil KMB (Konferensi Meja Bundar) di Den Haag, Suriname memperoleh status Pemerintahan Otonom, dimana hak dan kewajibannya disamakan dengan provinsi-provinsi yang di Negeri Belanda. Akibatnya di Suriname muncul partai politik. Pada tahun 1946 berdiri Partai Politik (Parpol) milik wong Jowo, PBIS(Pergerakan Bangsa Indonesia Suriname) pimpinan Bapak Soediono Soeriwisastro, yang kemudian digantikan oleh Bapak Salikin Mardi Hardjo. Pada tahun 1947 berdiri Parpol wong Jowo lain, KTPI (Kaum Tani Persatuan Indonesia) pimpinan Bapak Iding Soeminta. Dampaknya, masyarakat Indonesia “pecah” menjadi dua kelompok yang berbeda pendapat dan saling bertentangan. Kecuali itu, karena adanya beberapa suku bangsa yang tinggal di Suriname, maka persaingan antar etnispun, tidak bisa dihindarkan. Posisi jabatan dalam Pemerintahan, banyak didominasi oleh orang-orang Creol.

Kondisi yang memprihatinkan ini menarik perhatian seorang sosiolog Indonesia, Prof. DR. Yusuf Ismael,yang pada bulan Maret 1951 mengadakan studi ke Suriname dan menulis sebuah buku yang diberi judul“Indonesia” pada pantai Lautan Atlantik. Dalam buku itu beliau mengupas tuntas tentang kedudukan ekonomi dan sosial kemasyarakatan orang-orang Indonesia di Suriname.

Dari penulisan buku itu pula, Pemerintah Republik Indonesia menaruh perhatian terhadap nasib sekitar 40.000 orang Warga Negara Indonesia yang tinggal di Suriname dan membuka Kantor Komisariat di Paramaribo. Komisariat itu telah berkembang menjadi Konsulat Jenderal dan saat ini telah berubah menjadi Kedutaan Besar. Sebagai Komisaris RI yang pertama adalah Bapak Soedarto Hadinoto.

Jadi bisa ditarik kesimpulan bahwasannya TKI yang dikirim ke luar negeri adalah membantu membangun perekonomian negara yang hampir anjlok. Maka dari itu mereka sering disebut sebagai “Pahlawan Devisa Negara” karena dalam setahun bisa menghasilkan devisa 60 triliun rupiah (2006) [1], tetapi dalam kenyataannya, TKI menjadi ajang pungli bagi para pejabat dan agen terkait. Bahkan di Bandara Soekarno-Hatta, mereka disediakan terminal tersendiri (terminal III) yang terpisah dari terminal penumpang umum. Pemisahan ini beralasan untuk melindungi TKI tetapi juga menyuburkan pungli, termasuk pungutan liar yang resmi seperti pungutan Rp.25.000,- berdasarkan Surat Menakertrans No 437.HK.33.2003, bagi TKI yang pulang melalui Terminal III wajib membayar uang jasa pelayanan Rp25.000. (saat ini pungutan ini sudah dilarang)
Pada 9 Maret 2007 kegiatan operasional di bidang Penempatan dan Perlindungan TKI di luar negeri dialihkan menjadi tanggung jawab BNP2TKI. Sebelumnya seluruh kegiatan operasional di bidang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di luar negeri dilaksanakan oleh Ditjen Pembinaan dan Penempatan Tenaga Kerja Luar Negeri (PPTKLN) Depnakertrans. Banggalah dan semangat dalam bekerja bagi kalian yang memang saat ini berada di luar negeri mencari nafkah untuk menghidupi keluarga di rumah.
Sekian dulu blog dari saya semoga bermanfaat dan apabila ada salah kata silahkan komentar di bawah. Terimakasih (^_-)

No comments:

Post a Comment